Mengapa Pohon Sawit Sebanyak Apa pun Tidak Dapat Gantikan Fungsi Hutan?

Inilah penampakan hutan TNTN yang sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, di Kabupaten Pelalawan, Riau, pada Juni 2025.© KOMPAS.COM/Dok. Balai TNTN

KOMPAS.com -Gloria Setyvani Putri Isu mengenai deforestasi dan pembukaan lahan yang masif kembali menjadi perhatian serius di Indonesia.

Terlebih, bencana banjir Sumatera yang merendam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat disebut ahli bukan hanya karena cuaca ekstrem, tetapi deforestasi dan pembabatan hutan yang dialihfungsikan sebagai tambang atau perkebunan kelapa sawit memperparah keadaan.

Dalam pidato Presiden Prabowo di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) pada 30 Desember lalu, disinggung soal Indonesia perlu memperluas lahan perkebunan kelapa sawit tanpa perlu takut hutan mengalami deforestasi.
Ia bahkan mempertanyakan, “Apa itu katanya membahayakan, deforestation. Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?”

Namun, bagi para pegiat lingkungan dan ahli ekologi, pernyataan ini adalah kekeliruan mendasar.

Pohon kelapa sawit sebanyak apa pun tidak akan pernah bisa dianggap sebagai hutan, dan justru menjadi penyumbang utama masalah lingkungan serius.

Lantas, mengapa perkebunan monokultur sawit secara ekologis sangat berbeda dan berbahaya?

Monokultur Sawit vs. Ekosistem Hutan: Perbedaan yang Jelas

Perbedaan mendasar antara perkebunan kelapa sawit dan hutan alam terletak pada keanekaragaman hayati dan struktur ekosistemnya.

Dikutip dari National Geographic Indonesia, Wong Ee Lynn pernah menjelaskan dalam sebuah tulisan di Malaysiakini bahwa perkebunan kelapa sawit tidak dapat tergolong dalam kategori hutan rimba, atau lebih tepatnya hutan, karena perkebunan tersebut terdiri dari tanaman monokultur.

Artinya lahan kelapa sawit itu hanya terdiri atas satu jenis tanaman yang jumlahnya banyak di suatu area pada waktu yang sama.

Wong Ee Lynn menjelaskan bahwa ekosistem hutan yang beragam menyediakan keseimbangan alami untuk menjaga kesehatan tanah dan tanaman. Sebaliknya, hal ini tidak ditemukan di perkebunan sawit. 

“Sebaliknya, perkebunan monokultur harus menggunakan herbisida, insektisida, bakterisida, dan pupuk sintetis dalam jumlah besar untuk meniru beberapa cara alam melindungi tanaman,” tulis Lynn

Ketergantungan pada bahan kimia ini justru berdampak buruk pada ekosistem alami.

Seiring waktu, hama dan gulma berevolusi menjadi kebal terhadap bahan kimia, yang pada akhirnya menuntut petani menggunakan semakin banyak zat kimia, memperparah dampak negatifnya.

Kerusakan Ekologis: Pemicu Erosi dan Krisis Air

1. Ancaman Deforestasi dan Degradasi Tanah

Lynn mengatakan, pembukaan lahan kelapa sawit sudah jelas merupakan bentuk deforestasi terhadap hutan-hutan alam.

“Perkebunan merupakan ancaman langsung bagi hutan,” tegas Lynn.

Selain menjadi ancaman langsung, perkebunan sawit monokultur menyebabkan kerusakan parah pada tanah. Tidak adanya varietas tanaman di lahan sawit membuat jumlah spesies mikroorganisme dan bakteri menguntungkan di dalam tanah menjadi lebih sedikit.

Yang lebih krusial, tanaman penutup tanah dihilangkan di perkebunan monokultur. Ini menghilangkan perlindungan alami, yang berakibat pada:

“Di perkebunan monokultur, tanaman penutup tanah dihilangkan, sehingga tidak ada lagi perlindungan alami terhadap erosi tanah,” jelas Lynn.

“Tanah yang terdegradasi menjadi tidak dapat digunakan untuk pertanian setelah beberapa tahun.”

Kehilangan perlindungan alami terhadap erosi tanah inilah yang menjadi salah satu pemicu bencana, seperti banjir bandang yang sering melanda, di mana air tidak terserap maksimal ke dalam tanah melainkan langsung menjadi limpasan permukaan yang merusak.

2. Boros Air dan Menguras Sumber Daya Alam

Lahan sawit juga dikenal sebagai tanaman yang boros air karena menyedot banyak sumber air. Tanpa lapisan tanah atas yang dapat meningkatkan retensi kelembaban, perkebunan monokultur memerlukan air dalam jumlah besar untuk irigasi.

Air ini harus dipompa dari sungai, danau, dan sumber air alami lainnya, sehingga menguras habis sumber air tersebut.

Kontras dengan peran sawit, hutan memiliki fungsi vital yang tak tergantikan:

“Sebaliknya, hutan berfungsi sebagai daerah aliran sungai dan meningkatkan kualitas air dengan meminimalkan erosi dan menyaring polusi.”

Ini menunjukkan perbedaan peran yang sangat mendasar: hutan adalah penyaring air alami dan penjaga kualitas air, sementara perkebunan sawit justru menguras dan berpotensi mencemari sumber air.

Hutan, Keanekaragaman yang Tak Tertandingi

Perbedaan antara lahan sawit monokultur dan hutan alam sangatlah tegas. Fiona McAlpine dari The Borneo Project pernah menegaskan bahwa perkebunan kelapa sawit, bahkan yang dikelola secara berkelanjutan, tetaplah bukan hutan.

McAlpine menulis, “Monokultur industri ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keanekaragaman hayati yang kaya dan harmoni ekologis hutan asli.”

Lahan sawit yang miskin puspa dan satwa jelas tidak dapat menyamai fungsi ekosistem hutan yang tak tergantikan.

“Perbedaannya jelas, dan kita harus bertindak untuk melindungi apa yang tersisa dari ekosistem yang tak tergantikan ini sebelum terlambat,” tutup McAlpine.

Kerusakan Ekosistem Picu Banjir Sumatera

Dlam wawancara dengan Kompas.com, Rabu (26/11/2025), Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut, Jaka Damanik, menjelaskan bahwa kerusakan ekosistem Batang Toru (Harangan Tapanuli) menjadi pemicu utama bencana banjir Sumatera.

Ekosistem Batang Toru merupakan bagian dari hutan tropis terakhir di Sumatera Utara, yang membentang dari Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, hingga Tapanuli Utara.

Ia menegaskan, penyumbang terbesar deforestasi bukan berasal dari masyarakat, melainkan dari perusahaan-perusahaan besar.

“Memang ada beberapa dari masyarakat yang melakukan penebangan. Cuma itu bukan penyumbang terbesar,” kata dia.

Perusahaan ini mencakup sektor tambang, perkebunan, hingga industri energi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yang memerlukan lahan sangat luas.

Jaka menyebut, dari total luasan ekosistem Batang Toru yang sekitar 250.000 hektar, laju deforestasi mengalami kenaikan hingga 30 persen dalam lima tahun terakhir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *